"Cita-citaku di angkasa, tolong diam dulu di sana, Tunggu aku datang menghampirimu." – Endank Soekamti



      Berbicara tentang cita-cita merupakan topik yang cukup menarik. Hal ini merupakan satu dari banyak hal yang sering ditanyakan pada kita ketika masih kecil. Dan kita selalu menjawabnya dengan cepat, lantang dan penuh keyakinan.

     "Anak-anak, apa cita-cita kalian?" merupakan pertanyaan yang tidak pernah absen dalam penyelidikan guru-guru saat kita kecil. Saat itu begitu menyenangkan rasanya, karena kita tak pernah ragu sedikit pun meskipun kita tak tahu pasti jalan yang harus ditempuh untuk meraih itu. Namun seiring bertambahnya usia, kita justru bimbang, kita ragu akan apa yang sebenarnya kita cita-citakan. Kedewasaan membawa kita untuk bersikap lebih realistis terhadap dunia. Jika masa kecil membawa kita terbang tinggi dengan imajinasi yang menyenangkan itu, maka dewasa merangkul kita untuk lebih membumi.

      Jika dibandingkan, maka informasi yang kita dapatkan pastinya jauh lebih banyak ketika kita dewasa. Mungkin hal itu pula yang menyebabkan ini terjadi. Dengan banyaknya informasi, kita mulai berfikir. Jika dulu cita-cita hanya didasarkan pada sesuatu yang terlihat keren. Maka kini kita mulai mempertimbangkan strength, weakness, opportunity, and threats. Kita mulai melihat bagaimana hal itu berdampak pada hidup kita dan orang lain. 

     Ada perbedaan yang cukup terlihat di sini. Ketika kecil cita-cita kita berupa profesi, "aku ingin jadi ilmuan, aku ingin jadi astronot, tentara, presiden". Namun ketika kita dewasa, cita-cita kita mulai berubah menjadi sebuah kondisi, "aku ingin bahagia, aku ingin punya ini, aku ingin sukses", yup kondisi.





Artikel dari : Antonius Yuda | 31 | antoniusyuda13@gmail.com